Large City On The Edge Of The Dock

Aktifitas pelabuhan yang ramai ditepi kota besar.

Elevated Road In The Mountains

Keindahan jalan layang di pegunungan yang ekstrim.

Picnic During The Holidays

Liburan musim panas sangat cocok untuk piknik bersama keluarga.

Beautiful Butterfly

Taman akan lebih indah jika dihiasi berbagai macam kupu-kupu.

Refreshing To Relax

Refreshing dengan bersantai di tepi dermaga yang sejuk.

Minggu, 08 Mei 2016

Iplementasi UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 107 Tentang Kewajiban Pengendara Bermotor Untuk Menyalakan Lampu Utama Pada Siang Hari



Iplementasi UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 107
Tentang Kewajiban Pengendara Bermotor Untuk Menyalakan Lampu Utama Pada Siang Hari

DisusunUntuk Memenuhi Tugas Akhir  Semester IV Mata Kuliah Sosiologi Hukum

Dosen pengampu :
Miftah Solehuddin, M.HI.

Oleh:
Arik Wahyu Pratama (14210027)






 

Latar Belakang
Secara substantif, hukum dibuat dengan tujuan untuk mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat. Namun Wirjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa, masing-masing anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang beraneka ragam. Wujud dan jumlah kepentingan tergantung pada wujud dan sifat kemanusiaan dari masing-masing individu. Hawa nafsu masing-masing menimbulkan keinginan untuk mendapatkan kepuasan dalam hidupnya sehari-hari dan supaya segala kepentingannya terpelihara dengan baik. Untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut timbul berbagai macam bentuk usaha untuk mewujudkannya, yang mengakibatkan gesekan-gesekan dan bentrokan antara bermacam-macam kepentingan masyarakat. Akhirnya akibat gesekan  dan bentrokan tersebut timbullah guncangan, yang salah satu bentuknya adalah adanya pelanggaran.[1]
Iplementasi hukum merupakan problematika yang kompleks jika ingin ditegakkan karena banyak bersinggungan dengan berbagai faktor dalam masyarakat. Apabila hukum ingin ditegakkan maka yang akan muncul pasti seputar program sosialisasi, alikasi, perangkat pendukung, koordinasi serta faktor pendukung agar pengaturan tersebut berhasil dalam masyarakat. Namun dalam perjalanannya pengaturan tersebut tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan, bahkan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks.
Faktor yang menghambat kemulusan perjalanan hukum salah satunya adalah timbulnya multi interpretasi atau multi tafsir dalam masyarakat. Hal ini muncul karena tingkat pemahaman masing-masing masyarakat berbeda terhadap hukum yang ada. Disisi lain kurang maksimalnya para penegak hukum dalam menjalankan perannya menjadi faktor penghambat jalannya hukum, sehingga perlu adanya evaluasi lebih dalam. Dari beberapa faktor tersebut menjelaskan bahwa sistem hukum yang efektif dibutuhkan untuk memberikan solusi dari permasalahan tersebut.
Lawrence M.Friedman, memaparkan dalam bukunya The Legal system A Social Science Perspective yang dikutip Saifullah, bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur hukum (lembaga hukum, penegak hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan) dan budaya hukum.[2] Dari pernyataan Lawrence M.Friedman tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa sinergitas antara penegak, hukum, serta budaya hukum dibutuhkan agar iplementasi hukum dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Saat ini, pelanggaran lalu lintas di Indonesia tetap menjadi keprihatinan bagi pemerintah terutama bagi aparat penegak hukum seperti Kepolisian. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah pelanggaran lalu lintas dari tahun ketahun. Ditlantas Polda Metro Jaya mencatat bahwa jumlah pelanggaran lalu lintas naik hampir 15 % pada 2015 yang sebelumnya 14,5 %  pada tahun 2014.[3] Bentuk pelanggaran yang sering dilakukan masyarakat salah satunya adalah tidak menyalakan lampu utama di siang hari padahal undang-undang telah mengaturnya. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini hendak mengidentifikasi secara mendalam mengenai pelanggaran lalu lintas yang dilakukan masyarakat mengenai penggunaan lampu utama bagi pengandara bermotor di siang hari dilihat dari segi implementasinya.

Metode Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan dua model dalam proses pencarian data yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif yakni observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk melihat dan menganalisa fakta sosial mengenai praktek pengguna kendaraan yang melanggar hukum dengan fakta hukum yang ada. Sedangkan wawancara dilakukan kepada beberapa masyarakat yang melakukan pelanggaran dan pandangan masyarakat terhadap pelanggara.
Dua kelompok narasumber ini sengaja dipilih karena untuk menimbang sejauh mana para pelaku dan masyarakat umum memandang dari persepsi personal mereka terhadap pelanggaran lalu lintas serta implementasi hukum yang benar.

Fakta Sosial Pemberlakuan Hukum
Setiap kendaraan pasti dilengkapi dengan lampu untuk penerangan. Dipasangnya lampu pada kendaraan tentunya tidak menghilangkan tujuan utamanya yakni untuk keselamatan pengendara maupun orang lain. Penggunaan lampu utama pada kendaraan pada umumnya digunakan untuk menerangi jalan pada malam hari agar jarak pandang dalam berkendara dapat terjangkau. Selain sebagai penerangan fungsi lampu juga sebagai penanda untuk pengguna jalan atau pejalan kaki agar hati-hati dan peringatan untuk tidak berada didepannya atau menghindar. Sesuai dasar dan tujuan tersebut tentunya pemerintah memiliki kebijakan sendiri untuk lalu lintas.
Kemudian Pemerintah mengeluarkan peraturan tentang lalu lintas yakni UU Nomor 22 Tahun 2009. Dalam undang-undang tersebut disebutkan dalam Pasal 107 bahwasannya setip kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama di jalan pada siang hari, malam hari dan pada kondisi tertentu. Namun faktanya banyak pengendara bermotor yang menghiraukan bahkan melanngar aturan tersebut terutama mengenai penggunaan lampu utama pada siang hari. 
Telah tertera dengan jelas di dalam undang-undang. Sebagaimana tercantum pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas pada Pasal 107 ayat 1 dan 2:
(1)   Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
(2)   Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
Aturan tersebut secara tegas menyebutkan bahwa setiap pengendara bermotor wajib menyalakan lampu utama pada malam hari dan pada kondisi tertentu seperti hujan, ada kabut atau asap maupun yang lain. Serta lebih dikhususkan lagi pada ayat 2 bahwa pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu utama pada siang hari dengan maksud agar para pengguna jalan lain mendapatkan tanda dari kejauhan bahwasannya ada kendaraan di depannya atau memberi tanda supaya berhati-hati ada kendaraan bermotor yang akan melaju. Namun banyak yang menghiraukan bahkan ada yang tidak mengetahui aturan tersebut telah dibuat. Lebih parah lagi para pengendara sepeda motor hanya menyalakan lampu bila akan ada operasi atau melewati jalanan kota yang sering ada operasi dari  kepolisian bila tidak ada maka tidak dinyalakan apalagi di daerah pedesaan. Padahal hal itu diperlukan demi keselamatan bersama baik bagi pengguna jalan ataupun orang lain.
Seperti fakta pada gambar berikut:



 














Pada gambar tersebut terlihat bahwa ada pengguna sepeda motor telah melanggar UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 107.  Secara hukum pengendara tersebut telah melanggar aturan lalu lintas dan tidak boleh dibiarkan serta seharusnya mendapatkan sanksi atas tindakannya. Bahkan mungkin ia tahu bahwa pengendara lain menyalakan lampu utama (terlihat di depannya ada pengendara lain yang menyalakan lampu) akan tetapi karena sikap acuh tak acuhnya membuat ia menghiraukannya. 

Kontekstualisasi Aturan Hukum
Implementasi hukum tidak lepas dari seberapa besar ketaatan atau kepatuhan hukum dari masyarakat itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum sebagaimana disebutkan oleh C. G. Howard & R. S Mumners dalam Law: Its Nature And Limits, yang dikutip Soemardjan yaitu:[4]
1.      Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang dimaksud berbentuk undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut.
2.      Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum. Jadi, perumusan substansi aturan hukum itu, harus dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis, harus ditulis dengan jelas dan mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap membutuhkan interpretasi dari penegak hukum yang akan menerapkannya.
3.      Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu. Kita tidak boleh meyakini fiksi hukum yang menentukan bahwa semua penduduk yang ada dalam wilayah suatu Negara, dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di negaranya. Tidak mungkin penduduk atau warga Negara masyarakat secara umum, mampu mengetahui keberadaan suatu aturan hukum dan substansinya, jika aturan hukum tersebut tidak disosialisasikan secara optimal.
4.      Jika hukum yang dimaksud adalah peundang-undangan, maka seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang yang bersifat mengharuskan.
5.      Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut. suatu sanksi yang dapat kita katakana tepat untuk suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain.
6.      Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, sanksi denda yang diancamkan oleh Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang berlaku di Indonesia saat ini, terlalu berat jika dibandingkan penghasilan orang Indonesia. Sanksi denda jutaan rupiah untuk pengemudi kendaraan umum yang tidak memiliki ikat pinggang pengaman atau pemadam kebakaran, terlalu berat untuk mampu dilaksanakan oleh mereka. Sebalaiknya, sanksi yang terlalu ringan untuk suatu jenis kejahatan tentunya akan berakibat, warga masyarakat tidak akan segan untuk melakukan kejahatan tersebut.
7.      Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan penghukuman). Membuat suatu aturan hukum yang mengancamkan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang bersifat gaib atau mistik, adalah mustahil untuk efektif, karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum. Mengancamkan sanksi bagi perbuatan yang sering dikenal sebagai “sihir” atau “tenung”, adalah mustahil untuk efektif dan dibuktikan.
8.      Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, realtif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif, adalah aturan hukum yang melarang dan mengancamkan sanksi bagi tindakan hukum yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain, seperti norma moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan, dan lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma lain, akan lebih tidak efektif.
9.      Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan professional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya sturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret.
10.  Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada struktur hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. Dan sebelumnya, ketertiban umum sedikit atau banyak, harus telah terjaga, karena tidak mungkin efektifitas hukum akan terwujud secara optimal jika masyarakat dalam keadaan cheos atau situasi perang dahsyat. 
            Dilihat dari banyaknya faktor yang mempengaruhi pola ketaatan masyarakat terhadap hukum menunjukkan bahwa perjalanan mulus suatu hukum bersifat relatif. Hal itu terjadi karena banyak latar belakang yang menjadikan renspon masyarakat terhadap hukum berbeda-beda atau bisa dikatakan multi multi interpretasi. Bahkan penulis berpendapat bahwa meskipun masyarakat sadar akan hukum namun belum tentu masyarakat akan mentaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan sesuai pernyataan Ali, Kepatuhan hukum atau ketaatan hukum adalah kesadaran hukum yang positif. Sementara itu ketidaktaatan hukum padahal yang bersangkutan memiliki kesadaran hukum, berarti kesadaran hukum yang dipunyainya adalah kesadaran hukum yang negatif”.[5]
            Melihat kenyataan yang ada, terkait pelanggaran lalu lintas berupa tidskmenyalakan lampu utama di siang hari. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi hal tersebut terjadi. Dikaitkan dengan teori yang dikutip Soemardjan bahwasannya pelanggaran yang dilakukan masyarakat terjadi karena faktor  kurang fahamnya substansi hukum yang ada serta keoptimalan dan profesionalitas aparat penegak hukum. Pelanggaran yang terjadi kebanyakan karena masyarakat enggan menyalakan lampu utama karena menganggap hal itu tidak penting dan menurut mereka tidak masuk akal. Sebagaimana peneliti mewawancarai beberapa narasumber yang sering tidak menyalakan lampu utama sepeda motornya yakni Agus menyatakan “ Alah mas, dingge opo ngekakne lampu awaan-awan, kadekno yo padang, ketok kabeh”, [6]( Waduh Mas, untuk apa menyalakan lampu siang-siang , lagian ya terang, kelihatan semua),  Khusen menambahkan ” Gak onok polisi yo gak usah dikakno, lapo lo nok deso yo gak onok polis, iyo lek nok kutho yok opo maneh,  polisi nilang yo pas oprasi tok ngonolo, opomaneh pas onok polisi lampune gak dikakno yo ra lapo-lapo…, malah di jarno.”, ( Tidak ada polisi ya tidak usah dinyalakan, lagian di dareh desa tidak ada polisi, iya kalau di kota mau bagaimana lagi, polisi kalau menilang ya hanya waktu operasi saja, apalagi pas ada polisi terus lampunya tidak dinyalakan ya tidak ada apa-apa malah di biarkan), dikutkan lagi dengan pendapat Rutabi yang sering menyalakan lampu utama pada sepeda motor menyatakan “ Saya menyalakan lampu motor biar tidak ditilang polisi”.
            Pernyataan masyarakat tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memahami aturan menyalakan lampu motor di siang hari tidak logis dengan alasan di siang hari tanpa menyalakan lampu sepeda motor tetap terlihat.Hal ini beretentangan dengan substansi aturan lalu lintas yang ada bahwasannya menyalakan lampu utama diperlukan demi keselamatan dan agar para pengguna jalan dapat berhati-hati dan menghindari terjadinya kecelakaan. Kemudian keyakinan masyarakat bahwasannya menyalakan lampu diperuntukkan bila di daerah perkotaan saja dengan dalih di pedesaan jarang ada operasi dan hanya menyalakan lampu bila akan ada operasi serta agar tidak ditilang membuktikan bahwa sosialisasi, optimalisasi, serta peran aparat penegak hukum dinilai kurang efektif dan komprehensif. Bahkan, sangat ironi melihat kenyataan dimasyarakat ada yang melanggar hanya dibiarkan saja.
            Sekali lagi, permasalahan yang kompleks dalam hal ini adalah proses implementasi aturan yang ada terhadap masyarakat, walaupun aturan mengenai lalu lintas khususnya menyalakan lampu bagi pengendara sepeda motor di siang hari dipandang baik. Menurut Teori Proses Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan Horn yang dikutip oleh Budi Winarno, faktor-faktor yang mendukung jalannya implementasi kebijakan yaitu: [7]
1.      Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan.
Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan.
2.      Sumber-sumber Kebijakan
Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.
3.      Komunikasi
Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Implementasi dapat berjalan efektif bila disertai dengan ketepatan komunikasi antar para pelaksana.
4.      Karakteristik badan-badan pelaksana
Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan struktur birokrasi. Struktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
5.      Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi badanbadan pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.
6.      Kecenderungan para pelaksana
Intensitas kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana kebijakan akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebijakan.
            Merujuk dari teori Van Meter dan  Horn tersebut dihubungkan dengan hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan, dapat ditarik inti masalah dalam hal ini adalah problem komunikasi dan kecenderungan para pelaksana hukum baik penegak maupun masyarakat sendiri. Komunikasi antar berbagai pihak penegak hukum seperti kepolisian dan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yang kurang efektif dan komprehensif menjadikan adanya kesenjangan yang menimbulkan masalah seperti pembiaran terhadap praktek pelanggaran lalu lintas. Selain itu intensitas kecenderungan para penegak hukum terhadap pelanggaran yang sering terjadi menjadikan psikologis mereka sampai pada titik jenuh sehingga terjadilah pembiaran pelanggaran.
            Sinergitas antara penegak hukum dengan pemerintah dapat diwujudkan misalnya dengan adanya sosialisasi ditiap daerah baik di perkotaan dan di pedesaan mengenai tertib berlalu lintas. Selain itu perlu adanya kajian yang mendalam dan menyeluruh mengenai kebijakan yang diterapkan serta pelanggaran yang terjadi. Sehingga menghasilkan solusi untuk implementasihukum yang lebih baik.
           
Kesimpulan
            Pelanggaran lalu lintas berupa tidak menyalakan lampu utama di siang hari oleh pengendara bermotor disebabkan karena pemahaman yang kurang dari masyarakat akan aturan lalu lintas yang ada. Komunikasi sertan sosialisasi yang kurang menjadikan implementasi huku yang dilakukan para penegak hukum kurang efektif. Sehingga perlu ada kajian lebih lanjut dan mendalam mengenai iplementasi auturan serta komunikasi yang intensif agar aturan dapat terealisasi dengan benar.

Daftar Pustaka

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judical Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence).Jakarta: Kencana, 2009.

Budi Winarno, Kebijakan Publik, Teori dan Proses, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 17.
Sumarjan, Selo, Perkembangan Politik Sebagai Penggerak Dinamika Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1965.

Lawrence M.Friedman, The Legal system A Social Science Perspective, 1975, Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Aditama, 2007.

Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Suwikyo, Edi, Ditlantas Polda Metro Jaya: Jumlah Pelanggar Lalu Lintas Naik Hampir 15% Pada 2015, Jakarta: Kabar24, 2016  http://kabar24.bisnis.com/read/20160103/15/506488/ditlantas-polda-metro-jaya-jumlah-pelanggar-lalu-lintas-naik-hampir-15%-pada-2015 (diakses pada 16 April 2016).

Wawancara dilakukan pada 25 April 2016 pada masyarakat Malang.





[1] Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hal.56.
[2] Lawrence M.Friedman, The Legal system A Social Science Perspective, 1975, Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Aditama, 2007, hal.26.
[3] Edi Suwikyo, Ditlantas Polda Metro Jaya: Jumlah Pelanggar Lalu Lintas Naik Hampir 15% Pada 2015, Jakarta: Kabar24, 2016  http://kabar24.bisnis.com/read/20160103/15/506488/ditlantas-polda-metro-jaya-jumlah-pelanggar-lalu-lintas-naik-hampir-15%-pada-2015 (diakses pada 16 April 2016).
[4] Selo Sumarjan, Perkembangan Politik Sebagai Penggerak Dinamika Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1965, hal. 376-378.
[5] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judical Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence).Jakarta: Kencana, 2009, hal. 302.
[6] Wawancara dilakukan pada 25 April 2016 pada masyarakat Malang.
[7] Budi Winarno, Kebijakan Publik, Teori dan Proses, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 17.

Rabu, 12 Februari 2014

10 Mutiara Hikmah Kisah Luqmanul Hakim




Hikmah ini diambil dari intisari  QS. Al Luqman Ayat 13-19.


Ø  Wahai anakku, juallah duniamu dengan kehidupan akheratmu, niscaya engkau akan memperoleh keduanya dengan beruntung.

Ø  Wahai anakku, menjadi orang bisu, tetapi berakal itu lebih baik daripada engkau menjadi orang yang banyak berbicara, tetapi bodoh. Tiap-tiap sesuatu itu ada petunjuknya. Akal petunjuknya ialah berpikir, dan petunjuk berpikir itu adalah diam. Barang siapa berkata-kata dalam hal yang tidak baik maka ia benar-benar sia-sia, barang siapa berpikir tanpa mengambil pelajaran maka ia benar-benar lalai, dan barang siapa diam tanpa berpikir maka ia benar-benar merugi.

Ø  Wahai anakku, dunia ini ibarat sebuah lautan yang dalam, telah banyak orang yang hanyut kedalamnya, maka jadikanlah iman sebagai kapalmu di dunia ini, taqwa sebagai isinya, dan tawakkal sebagai layarnya. Mudah-mudahan dengan ini engkau bisa selamat.

Ø  Wahai anakku, janganlah engkau mengakhir-akhirkan taubat, sebab mati itu datangnya mendadak. Wahai anakku, tahanlah dirimu dalam menghadapi orang kecil karena kekecilannya, orang besar karena martabatnya, orang bodoh karena kekurangannya dan orang ahli ilmu karena keutamaannya. Wahai anakku, janganlah engkau tertawa tanpa ada yang aneh dan janganlah engkau berjalan tanpa tujuan. Janganlah bertanya tentang sesuatu yang tidak berguna untukmu, janganlah menyia-yiakan hartamu dan berbaiklah terhadap harta orang lain. Sebab hartamu itu adalah harta yang engkau kurbankan, sedang harta orang lain itu ialah harta yang engkau tinggalkan.

Ø  Wahai anakku, barangsiapa tidak mempunyai belas kasih maka ia tidak dikasihani. Barangsiapa diam maka ia selamat. Barangsiapa yang berkata baik maka ia beruntung. Barang siapa yang berkata jelek maka ia menyesal. Barang siapa yang tidak menguasai mulutnya maka ia tersandung.

Ø  Wahai anakku, sesungguhnya sejak engkau dilahirkan di dunia berarti engkau telah membelakanginya dan engkau telah menghadapi akherat. Sebab tempat yang engkau tuju dalam perjalananmu itu lebih dekat daripada tempat yang engkau tinggalkan.

Ø  Wahai anakku, berharaplah kepada Allah dengan harapan yang membuat kamu tidak berani berbuat maksiat, dan takutlah kepada Allah dengan takut yang membuat tidak berputus asa terhadap rahmatnya.

Ø  Wahai anakku, janganlah engkau belajar apa yang engkau belum ketahui, sebelum engkau mengamalkan apa yang engkau ketahui.

Ø  Wahai anakku, janganlah engkau bermanis-manis, niscaya engkau ditelan orang dan janganlah engkau berpahit-pahit, niscaya engkau dicampakkan orang.

Ø  Wahai anakku, hati-hatilah terhadap orang yang mulia, kalau engkau menghinakannya ; terhadap orang yang berakal, kalau engkau membuat ia marah ; terhadap orang yang tolol, kalau engkau bergurau ; terhadap orang yang bodoh, kalau engkau berteman dengannya ; dan terhadap orang yang jahat, kalau engkau memusuhinya.