Iplementasi UU No. 22 Tahun 2009
Pasal 107
Tentang Kewajiban Pengendara
Bermotor Untuk Menyalakan Lampu Utama Pada Siang Hari
DisusunUntuk
Memenuhi Tugas Akhir Semester IV Mata
Kuliah Sosiologi Hukum
Dosen
pengampu :
Miftah
Solehuddin, M.HI.
Oleh:
Arik
Wahyu Pratama (14210027)
Latar Belakang
Secara
substantif, hukum dibuat dengan tujuan untuk mengadakan keselamatan,
kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat. Namun Wirjono Prodjodikoro
mengungkapkan bahwa, masing-masing anggota masyarakat mempunyai kepentingan
yang beraneka ragam. Wujud dan jumlah kepentingan tergantung pada wujud dan
sifat kemanusiaan dari masing-masing individu. Hawa nafsu masing-masing
menimbulkan keinginan untuk mendapatkan kepuasan dalam hidupnya sehari-hari dan
supaya segala kepentingannya terpelihara dengan baik. Untuk memenuhi
keinginan-keinginan tersebut timbul berbagai macam bentuk usaha untuk
mewujudkannya, yang mengakibatkan gesekan-gesekan dan bentrokan antara
bermacam-macam kepentingan masyarakat. Akhirnya akibat gesekan dan bentrokan tersebut timbullah guncangan,
yang salah satu bentuknya adalah adanya pelanggaran.[1]
Iplementasi
hukum merupakan problematika yang kompleks jika ingin ditegakkan karena banyak
bersinggungan dengan berbagai faktor dalam masyarakat. Apabila hukum ingin
ditegakkan maka yang akan muncul pasti seputar program sosialisasi, alikasi,
perangkat pendukung, koordinasi serta faktor pendukung agar pengaturan tersebut
berhasil dalam masyarakat. Namun dalam perjalanannya pengaturan tersebut tidak
berjalan sesuai dengan yang diinginkan, bahkan menimbulkan
permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks.
Faktor yang
menghambat kemulusan perjalanan hukum salah satunya adalah timbulnya multi
interpretasi atau multi tafsir dalam masyarakat. Hal ini muncul karena tingkat
pemahaman masing-masing masyarakat berbeda terhadap hukum yang ada. Disisi lain
kurang maksimalnya para penegak hukum dalam menjalankan perannya menjadi faktor
penghambat jalannya hukum, sehingga perlu adanya evaluasi lebih dalam. Dari
beberapa faktor tersebut menjelaskan bahwa sistem hukum yang efektif dibutuhkan
untuk memberikan solusi dari permasalahan tersebut.
Lawrence
M.Friedman, memaparkan dalam bukunya The Legal system A Social Science Perspective
yang dikutip Saifullah, bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur
hukum (lembaga hukum, penegak hukum), substansi hukum (peraturan
perundang-undangan) dan budaya hukum.[2]
Dari pernyataan Lawrence M.Friedman tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa
sinergitas antara penegak, hukum, serta budaya hukum dibutuhkan agar
iplementasi hukum dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Saat ini,
pelanggaran lalu lintas di Indonesia tetap menjadi keprihatinan bagi pemerintah
terutama bagi aparat penegak hukum seperti Kepolisian. Hal ini dibuktikan dengan
meningkatnya jumlah pelanggaran lalu lintas dari tahun ketahun. Ditlantas Polda
Metro Jaya mencatat bahwa jumlah pelanggaran lalu lintas naik hampir 15 % pada
2015 yang sebelumnya 14,5 % pada tahun
2014.[3]
Bentuk pelanggaran yang sering dilakukan masyarakat salah satunya adalah tidak
menyalakan lampu utama di siang hari padahal undang-undang telah mengaturnya.
Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini hendak mengidentifikasi secara
mendalam mengenai pelanggaran lalu lintas yang dilakukan masyarakat mengenai
penggunaan lampu utama bagi pengandara bermotor di siang hari dilihat dari segi
implementasinya.
Metode Pengumpulan Data
Dalam proses
pengumpulan data, penulis menggunakan dua model dalam proses pencarian data
yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif yakni observasi dan wawancara.
Observasi dilakukan untuk melihat dan menganalisa fakta sosial mengenai praktek
pengguna kendaraan yang melanggar hukum dengan fakta hukum yang ada. Sedangkan
wawancara dilakukan kepada beberapa masyarakat yang melakukan pelanggaran dan
pandangan masyarakat terhadap pelanggara.
Dua kelompok narasumber ini sengaja dipilih
karena untuk menimbang sejauh mana para pelaku dan masyarakat umum memandang
dari persepsi personal mereka terhadap pelanggaran lalu lintas serta
implementasi hukum yang benar.
Fakta Sosial
Pemberlakuan Hukum
Setiap kendaraan
pasti dilengkapi dengan lampu untuk penerangan. Dipasangnya lampu pada
kendaraan tentunya tidak menghilangkan tujuan utamanya yakni untuk keselamatan
pengendara maupun orang lain. Penggunaan lampu utama pada kendaraan pada
umumnya digunakan untuk menerangi jalan pada malam hari agar jarak pandang
dalam berkendara dapat terjangkau. Selain sebagai penerangan fungsi lampu juga
sebagai penanda untuk pengguna jalan atau pejalan kaki agar hati-hati dan
peringatan untuk tidak berada didepannya atau menghindar. Sesuai dasar dan
tujuan tersebut tentunya pemerintah memiliki kebijakan sendiri untuk lalu
lintas.
Kemudian
Pemerintah mengeluarkan peraturan tentang lalu lintas yakni UU Nomor 22 Tahun
2009. Dalam undang-undang tersebut disebutkan dalam Pasal 107 bahwasannya setip
kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu utama di jalan pada siang hari, malam
hari dan pada kondisi tertentu. Namun faktanya banyak pengendara bermotor yang
menghiraukan bahkan melanngar aturan tersebut terutama mengenai penggunaan
lampu utama pada siang hari.
Telah tertera
dengan jelas di dalam undang-undang. Sebagaimana tercantum pada UU No. 22 Tahun
2009 tentang lalu lintas pada Pasal 107 ayat 1 dan 2:
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib
menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam
hari dan pada kondisi tertentu.
(2) Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada
siang hari.
Aturan tersebut
secara tegas menyebutkan bahwa setiap pengendara bermotor wajib menyalakan
lampu utama pada malam hari dan pada kondisi tertentu seperti hujan, ada kabut
atau asap maupun yang lain. Serta lebih dikhususkan lagi pada ayat 2 bahwa
pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu utama pada siang hari dengan
maksud agar para pengguna jalan lain mendapatkan tanda dari kejauhan
bahwasannya ada kendaraan di depannya atau memberi tanda supaya berhati-hati
ada kendaraan bermotor yang akan melaju. Namun banyak yang menghiraukan bahkan
ada yang tidak mengetahui aturan tersebut telah dibuat. Lebih parah lagi para
pengendara sepeda motor hanya menyalakan lampu bila akan ada operasi atau
melewati jalanan kota yang sering ada operasi dari kepolisian bila tidak ada maka tidak
dinyalakan apalagi di daerah pedesaan. Padahal hal itu diperlukan demi
keselamatan bersama baik bagi pengguna jalan ataupun orang lain.
Seperti fakta
pada gambar berikut:
Pada gambar
tersebut terlihat bahwa ada pengguna sepeda motor telah melanggar UU No. 22
Tahun 2009 Pasal 107. Secara hukum
pengendara tersebut telah melanggar aturan lalu lintas dan tidak boleh
dibiarkan serta seharusnya mendapatkan sanksi atas tindakannya. Bahkan mungkin
ia tahu bahwa pengendara lain menyalakan lampu utama (terlihat di depannya ada
pengendara lain yang menyalakan lampu) akan tetapi karena sikap acuh tak
acuhnya membuat ia menghiraukannya.
Kontekstualisasi Aturan
Hukum
Implementasi hukum tidak lepas dari
seberapa besar ketaatan atau kepatuhan hukum dari masyarakat itu sendiri. Ada beberapa
faktor yang memengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum sebagaimana
disebutkan oleh C. G. Howard & R. S Mumners dalam Law: Its Nature And
Limits, yang dikutip Soemardjan yaitu:[4]
1.
Relevansi
aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi
target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang
dimaksud berbentuk undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk
mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut.
2.
Kejelasan
rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target
diberlakukannya aturan hukum. Jadi, perumusan substansi aturan hukum itu, harus
dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis, harus ditulis dengan jelas dan
mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap membutuhkan interpretasi
dari penegak hukum yang akan menerapkannya.
3.
Sosialisasi
yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu. Kita tidak boleh meyakini
fiksi hukum yang menentukan bahwa semua penduduk yang ada dalam wilayah suatu
Negara, dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di negaranya.
Tidak mungkin penduduk atau warga Negara masyarakat secara umum, mampu
mengetahui keberadaan suatu aturan hukum dan substansinya, jika aturan hukum
tersebut tidak disosialisasikan secara optimal.
4.
Jika hukum
yang dimaksud adalah peundang-undangan, maka seyogyanya aturannya bersifat
melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang
lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang yang bersifat mengharuskan.
5.
Sanksi yang
diancamkan oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan sifat aturan hukum
yang dilanggar tersebut. suatu sanksi yang dapat kita katakana tepat untuk
suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain.
6.
Berat
ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan
memungkinkan untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, sanksi denda yang diancamkan
oleh Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang berlaku di
Indonesia saat ini, terlalu berat jika dibandingkan penghasilan orang
Indonesia. Sanksi denda jutaan rupiah untuk pengemudi kendaraan umum yang tidak
memiliki ikat pinggang pengaman atau pemadam kebakaran, terlalu berat untuk
mampu dilaksanakan oleh mereka. Sebalaiknya, sanksi yang terlalu ringan untuk
suatu jenis kejahatan tentunya akan berakibat, warga masyarakat tidak akan
segan untuk melakukan kejahatan tersebut.
7.
Kemungkinan
bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan
hukum tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan
diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh
karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan penghukuman). Membuat suatu aturan hukum yang
mengancamkan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang bersifat gaib atau mistik,
adalah mustahil untuk efektif, karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses
hukum. Mengancamkan sanksi bagi perbuatan yang sering dikenal sebagai “sihir”
atau “tenung”, adalah mustahil untuk efektif dan dibuktikan.
8.
Aturan hukum
yang mengandung norma moral berwujud larangan, realtif akan jauh lebih efektif ketimbang
aturan yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang
menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat
efektif, adalah aturan hukum yang melarang dan mengancamkan sanksi bagi
tindakan hukum yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain,
seperti norma moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan, dan
lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma lain, akan
lebih tidak efektif.
9.
Efektif atau
tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal
dan professional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya
sturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses
penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran
hukum, interpretasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus
konkret.
10. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum,
juga mensyaratkan adanya pada struktur hidup sosio-ekonomi yang minimal di
dalam masyarakat. Dan sebelumnya, ketertiban umum sedikit atau banyak, harus
telah terjaga, karena tidak mungkin efektifitas hukum akan terwujud secara
optimal jika masyarakat dalam keadaan cheos atau situasi perang
dahsyat.
Dilihat dari banyaknya faktor yang
mempengaruhi pola ketaatan masyarakat terhadap hukum menunjukkan bahwa
perjalanan mulus suatu hukum bersifat relatif. Hal itu terjadi karena banyak
latar belakang yang menjadikan renspon masyarakat terhadap hukum berbeda-beda
atau bisa dikatakan multi multi interpretasi. Bahkan penulis berpendapat bahwa
meskipun masyarakat sadar akan hukum namun belum tentu masyarakat akan mentaati
suatu aturan hukum atau perundang-undangan sesuai pernyataan Ali, “Kepatuhan hukum atau ketaatan hukum adalah
kesadaran hukum yang positif. Sementara itu ketidaktaatan hukum padahal yang
bersangkutan memiliki kesadaran hukum, berarti kesadaran hukum yang dipunyainya
adalah kesadaran hukum yang negatif”.[5]
Melihat kenyataan yang ada, terkait
pelanggaran lalu lintas berupa tidskmenyalakan lampu utama di siang hari. Ada
beberapa faktor yang melatar belakangi hal tersebut terjadi. Dikaitkan dengan
teori yang dikutip Soemardjan bahwasannya pelanggaran yang dilakukan masyarakat
terjadi karena faktor kurang fahamnya
substansi hukum yang ada serta keoptimalan dan profesionalitas aparat penegak
hukum. Pelanggaran yang terjadi kebanyakan karena masyarakat enggan menyalakan
lampu utama karena menganggap hal itu tidak penting dan menurut mereka tidak
masuk akal. Sebagaimana peneliti mewawancarai beberapa narasumber yang sering
tidak menyalakan lampu utama sepeda motornya yakni Agus menyatakan “ Alah
mas, dingge opo ngekakne lampu awaan-awan, kadekno yo padang, ketok kabeh”,
[6]( Waduh
Mas, untuk apa menyalakan lampu siang-siang , lagian ya terang, kelihatan
semua), Khusen menambahkan ” Gak onok
polisi yo gak usah dikakno, lapo lo nok deso yo gak onok polis, iyo lek nok
kutho yok opo maneh, polisi nilang yo
pas oprasi tok ngonolo, opomaneh pas onok polisi lampune gak dikakno yo ra
lapo-lapo…, malah di jarno.”, ( Tidak ada polisi ya tidak usah dinyalakan,
lagian di dareh desa tidak ada polisi, iya kalau di kota mau bagaimana lagi,
polisi kalau menilang ya hanya waktu operasi saja, apalagi pas ada polisi terus
lampunya tidak dinyalakan ya tidak ada apa-apa malah di biarkan), dikutkan lagi
dengan pendapat Rutabi yang sering menyalakan lampu utama pada sepeda motor
menyatakan “ Saya menyalakan lampu motor biar tidak ditilang polisi”.
Pernyataan masyarakat tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat memahami aturan menyalakan lampu motor di siang
hari tidak logis dengan alasan di siang hari tanpa menyalakan lampu sepeda
motor tetap terlihat.Hal ini beretentangan dengan substansi aturan lalu lintas
yang ada bahwasannya menyalakan lampu utama diperlukan demi keselamatan dan
agar para pengguna jalan dapat berhati-hati dan menghindari terjadinya
kecelakaan. Kemudian keyakinan masyarakat bahwasannya menyalakan lampu
diperuntukkan bila di daerah perkotaan saja dengan dalih di pedesaan jarang ada
operasi dan hanya menyalakan lampu bila akan ada operasi serta agar tidak
ditilang membuktikan bahwa sosialisasi, optimalisasi, serta peran aparat
penegak hukum dinilai kurang efektif dan komprehensif. Bahkan, sangat ironi
melihat kenyataan dimasyarakat ada yang melanggar hanya dibiarkan saja.
Sekali lagi, permasalahan yang
kompleks dalam hal ini adalah proses implementasi aturan yang ada terhadap
masyarakat, walaupun aturan mengenai lalu lintas khususnya menyalakan lampu
bagi pengendara sepeda motor di siang hari dipandang baik. Menurut Teori Proses
Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan Horn yang dikutip oleh Budi
Winarno, faktor-faktor yang mendukung jalannya implementasi kebijakan yaitu: [7]
1.
Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan.
Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu
program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena
implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan
itu tidak dipertimbangkan.
2.
Sumber-sumber Kebijakan
Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau perangsang (incentive)
lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.
3.
Komunikasi
Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Implementasi
dapat berjalan efektif bila disertai dengan ketepatan komunikasi antar para
pelaksana.
4.
Karakteristik badan-badan pelaksana
Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan struktur
birokrasi. Struktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi keberhasilan suatu
implementasi kebijakan.
5.
Kondisi ekonomi, sosial dan politik
Kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi badanbadan
pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.
6.
Kecenderungan para pelaksana
Intensitas kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana
kebijakan akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebijakan.
Merujuk dari teori Van Meter dan Horn tersebut dihubungkan dengan hasil
wawancara dan observasi yang telah dilakukan, dapat ditarik inti masalah dalam
hal ini adalah problem komunikasi dan kecenderungan para pelaksana hukum baik
penegak maupun masyarakat sendiri. Komunikasi antar berbagai pihak penegak
hukum seperti kepolisian dan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yang
kurang efektif dan komprehensif menjadikan adanya kesenjangan yang menimbulkan
masalah seperti pembiaran terhadap praktek pelanggaran lalu lintas. Selain itu
intensitas kecenderungan para penegak hukum terhadap pelanggaran yang sering
terjadi menjadikan psikologis mereka sampai pada titik jenuh sehingga
terjadilah pembiaran pelanggaran.
Sinergitas antara penegak hukum dengan pemerintah dapat
diwujudkan misalnya dengan adanya sosialisasi ditiap daerah baik di perkotaan
dan di pedesaan mengenai tertib berlalu lintas. Selain itu perlu adanya kajian
yang mendalam dan menyeluruh mengenai kebijakan yang diterapkan serta
pelanggaran yang terjadi. Sehingga menghasilkan solusi untuk implementasihukum
yang lebih baik.
Kesimpulan
Pelanggaran lalu lintas
berupa tidak menyalakan lampu utama di siang hari oleh pengendara bermotor
disebabkan karena pemahaman yang kurang dari masyarakat akan aturan lalu lintas
yang ada. Komunikasi sertan sosialisasi yang kurang menjadikan implementasi
huku yang dilakukan para penegak hukum kurang efektif. Sehingga perlu ada
kajian lebih lanjut dan mendalam mengenai iplementasi auturan serta komunikasi
yang intensif agar aturan dapat terealisasi dengan benar.
Daftar Pustaka
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan (Judical Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(legisprudence).Jakarta: Kencana, 2009.
Budi Winarno, Kebijakan Publik,
Teori dan Proses, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 17.
Sumarjan, Selo, Perkembangan Politik Sebagai Penggerak Dinamika
Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1965.
Lawrence M.Friedman, The Legal system A Social Science
Perspective, 1975, Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung:
Aditama, 2007.
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Suwikyo, Edi, Ditlantas Polda Metro Jaya: Jumlah Pelanggar Lalu
Lintas Naik Hampir 15% Pada 2015, Jakarta: Kabar24, 2016 http://kabar24.bisnis.com/read/20160103/15/506488/ditlantas-polda-metro-jaya-jumlah-pelanggar-lalu-lintas-naik-hampir-15%-pada-2015 (diakses pada 16 April 2016).
Wawancara dilakukan pada 25 April 2016 pada masyarakat Malang.
[2] Lawrence
M.Friedman, The Legal system A Social Science Perspective, 1975,
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Aditama, 2007, hal.26.
[3] Edi Suwikyo, Ditlantas
Polda Metro Jaya: Jumlah Pelanggar Lalu Lintas Naik Hampir 15% Pada 2015, Jakarta: Kabar24, 2016 http://kabar24.bisnis.com/read/20160103/15/506488/ditlantas-polda-metro-jaya-jumlah-pelanggar-lalu-lintas-naik-hampir-15%-pada-2015
(diakses pada 16 April 2016).
[4] Selo
Sumarjan, Perkembangan Politik Sebagai Penggerak Dinamika Pembangunan
Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1965, hal. 376-378.
[5] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judical Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (legisprudence).Jakarta:
Kencana, 2009, hal. 302.
[7] Budi Winarno,
Kebijakan Publik, Teori dan Proses, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 17.











