BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ilmu kalam sebagai ilmu yang membahas
permasalahan ketuhanan dengan berpegang kepada dalil-dalil naqli serta
menggunakan akal/rasio sebagai media penafsirannya. Wahyu sebagai kabar dari
alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan
dan akal sebagai media yang ada pada diri manusia berusaha keras untuk dapat
mencapai Tuhan.
Terdapat beberapa aliran
di dalam ilmu kalam yang mana pola pemikiran antar aliran ini cenderung
kontradiktif. Masalah utama yang timbul dari perbedaan aliran-alian teologi
tersebut adalah persoalan siapa yang beriman dan siapa yang tidak.
Dalam makalah ini akan
diuraikan perbandingan pemikiran antar beberapa aliran ilmu kalam tentang
permasalahan; Kalamullah Menurut Perspektif Aliran Kalam.
Dari perbandingan antar
aliran ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham
aliran satu dengan aliran yang lain. sehingga kita memahami maksud dari segala
polemik yang ada.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian Kalamullah?
2. Bagaimanakah Kalamullah menurut perspektif aliran kalam ?
C.
TUJUAN
1. Mengetahui pengertian Kalamullah
2. Mengetahui definisi secara etimologi dan terminologi tentang Kalamullah
3. Memahami
Kalamullah menurut perspektif aliran kalam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kalamullah
Kalam Allah
adalah sifat yang diperlukan dan kekal dengan kesempurnaan, dan berkaitan
dengan segala sesuau yang Dia ketahui, dan dengannya
Dia mengatakan perintah, janji dan ancaman-Nya.
Kalam yang terdiri dari
suara dan huruf adalah kalam ciptaan, karena alasan ini seseorang tidak
boleh mengatakan bahwa sifat kalam Allah yang kekal adalah huruf dan suara,
karena Allah berkata:
Artinya: " tidak
ada sesuatu yang menyerupai Dia." (Al-Sħuu’araa : 11)
Dengan demikian, ketika
Ahlus-Sunnah Ash’ariyyah dan Maturidiyah mengatakan bahwa "Al-Qur'an tidak
diciptakan" maksud mereka adalah mengacu pada sifat kalam Allah yang kekal
yang bukan suara ataupun huruf. Dengan kata lain, kalimat dalam
kitab Al-Qur'an itu mengacu pada pada apa yang terkandung dari apa yang Allah
katakan dgn sifat kalamNya.
Menurut Imam as-Sanusi Kalam Allah
Ta’ala yang bersubstansi zat-Nya ialah; suatu sifat external yang tidak
berbentuk huruf, tidak berbentuk suara, tidak pernah mengalami tiada, tidak
yang semakna dengan tiada seperti diam, tidak terbagi-bagi, tidak terdahulu dan
tidak terkemudian.
Ada berbagai
pendapat yang menjelaskan pengertian kalam Ilahi, dibawah ini ada beberapa pendapat penting:
1. Sebagian menganggap kalam Ilahi sebagai
bentuk suara dan huruf yang mandiri dari dzat Tuhan dan sifatnya adalah
eternal. Kelompok ini menganggap bahwa jilid dan mushhaf al-Qur'an sebagai
salah satu individu eksternal dari kalam Tuhan yang eternal dan azali.
2. Pendapat lain mengatakan bahwa kalam Ilahi
adalah suara-suara dan huruf-huruf yang independen dari dzat Tuhan akan tetapi
bersifat temporal.
3. Pendapat ketiga mengatakan bahwa kalam Ilahi
adalah suara-suara dan huruf-huruf yang temporal dan tidak independen dari dzat
Tuhan melainkan sebagai perbuatan dan makhluk-Nya. Gagasan ini dinisbahkan
kepada Mu'tazilah, dan maksud dari "Tuhan berkalam" adalah
terciptanya huruf-huruf dan suara-suara di alam eksternal.
4. Sebagian dari kelompok Asy'ariyah mengatakan
bahwa kalam Ilahi independen dari dzat-Nya dan berbeda dengan ilmu dan iradah,
dari sinilah sehingga kalam Ilahi terkadang dinamakan dengan kalam nafsi (kalam
inner). Menurut mereka, kalam nafsi memiliki satu makna yaitu kalam yang lepas
dari berbagai bentuk ungkapan seperti perintah, larangan, berita, panggilan dan
sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan huruf-huruf dan suara yang
menunjuk pada kalam adalah sebagai hakikat eternal dan azali serta merupakan
salah satu dari sifat dzat Tuhan.
Mernurut Syaikh Muhammad Tahir Al-Kurdy seorang ulama’
Hijaz, Kalamullah dibagi menjadi 2, Kalam Lafdzi dan Kalam Nafsi.
A.
Kalam Lafdzi/Kalam Hissi
Para ulama' telah membuat definisi kalam lafzdi
atau kalam hissi :
1.
kalam lafzi ialah kalam yang diciptakan oleh
Allah yang diletakkan di lahul mahfuz.
2.
kalam lafzi ialah kalam yang berhuruf,
bersuara. Namun makna kalam lafzi ini adalah sebagian daripada makna kalam
nafsi yang qadim yang ada pada dzat Allah.
B.
Kalam Nafsi
Kalam nafsi ialah dari sifat kalam Allah yang
qadim .
Perbedaan
antara keduanya yang mudah untuk kita fahami ialah kalam nafsi itu sifat kalam
yang dengannyalah allah s.w.t mampu untuk berbicara .adapun kalam lafdzi
merupakan makna daripada tugas sifat kalam Allah SWT.
B.
Kalamullah Menurut Perspektif Aliran Kalam
Diskusi tentang Kalam Allah muncul
tatkala terlontar pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah. Pemikiran tentang
kemakhlukkan Kalam Allah ini untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Ja’d ibn
Dirham, semasa Khlaifah Umayyah Hisham (724-743 M) . Hisyam kemudian
memerintahkan untuk mengeksekusi Ja’d ibn Dirham.
Namun demikian, pembicaraan tentang
kemakhlukan Kalam Allah ini baru populer dan menjadi diskusi Ilmu Kalam secara
lebih serius pada masa Khalifah Al-Ma’mun, setelah cukup lama Mu’tazilah lahir,
baru dilontarkan kembali pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah (khususnya
Al-Qur’an) ini oleh Ibn Abi Duwad masa Khalifah Al-Ma’mun (sekitar 827 M), yang
menjadikan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara.
Dari permasalah tersebut
timbul berbagai pendapat dari berbagai aliran kalam tentang makhluk atau
tidaknya Kalamullah.
1. Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah pada abad ke II dan ke III Hijriyah telah
mengguncangkan umat Islam dengan keterangannya yang mengatakan bahwa Kalamullah
(Al Qur’an) itu makhluk bukan sifat Allah yang qadim.
Kepercayaan Alran mu’tazilah ini merupakan kelanjutan
dari pandangan bahwa Tuha tidak memiliki sifat (sebagai sesuatu yang terpisah
atau substansi tersendiri disamping dhat
Tuhan) sehingga aliran ini berpendapat bahwa Kalam Allah sebagai
Makhluk.
Pada umumnya kaum mu’tazilah memahami hakikat “kalam”
atau perkataan, sebagai: “huruf yang tersusun dan suara yang terputus-putus
yang diucapkan dengan lisan” . Sehingga mereka mengatakan perkataan bukanlah
sifat akan tetapi perbuatan Tuhan oleh karena itu mesti di ciptakan dan tidak
kekal.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan
diciptakan Tuhan. Alasan mereka adalah Al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat
, ayat yang satu mendahului ayat yang lain dan surat yang satu mendahului surat
yang lain. Karena didahului sesuatu maka tidak bisa dikatakan qadim karena qadim
adalah sesuatau yang tidak bermula dan tidak di dahului oleh apapun. Dalil Al-Qur’an
yang menjadi dasar adalah firman Allah yang artinya : “Aliif laam raa, (inilah) suatau kitab yang
ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang
diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Hud
; 1)
Menurut ayat tersebut, ayat-ayat Al-Qur’an dibuat sempurna dan kemudian dinagi-bagi. Jelasnya,
demikian kaum mu’tazilah, Al-Qur’an
sendiri mengakui bahwa Al-Qur’an
tersusun dari bagian-bagian dan yang tersusun tidak bisa bersifat kekal dalam
arti Qadim.
2. Al - Asy’ariyah
Menurut kaum Asy’ari sabda adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan mestilah
kekal. Sabda bagi mereka adalah arti atau makna abstrak. Sabda bukanlah yang
tersusun dari huruf dan dikeluarkan dengan suara. Sabda yang tersusun disebut
sabda hanya dalam arti kiasan. Sabda yang sebenarnya adalah apa yang terletak
dibalik yang tersusun itu. Sabda yang tersusun dari huruf dan kata-kata
bukanlah sabda Tuhan. Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal
dan dapat menjadi sifat Tuhan. Dan yang dimaksud Al-Qur’an bukanlah apa yang tersusun dari huruf-huruf , kata-kata, dan
surat-surat tetapi arti atau makna abstrak tersebut. Dalam arti inilah Al-Qur’an yang merupakan Kalamullah dan bersifat kekal. Dalam arti huruf,
kata, ayat, dan surat yang tertulis atau dibaca, Al-Qur’an adalah baru serta diciptakan dan bukanlah Kalamullah.
Dalil yang menguatkan pendapat Aliran Asy’ariyah adalah firman Allah yang
artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit
dan bumi dengan iradat-Nya. Keudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil
dari buni, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).” (QS. Ar Rum ;
25).
Dalam
ayat ini disebut bahwa langit dan bumi terjadi dengan perintah Allah. Peritah
mempunyai wujud dalam bentuk firman Allah. Dengan demikian perintah Allah adalah
firman Allah. Untuk mmbuktikan bahwa perintah Allah adalah kekal.
Dalil lain yang menguatkan pendapat mereka adalah firman Allah yang artinya
: “Ingatlah, menciptak dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,
Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’raf : 54).
Dalam
ayat ini perintah dan ciptaan di pisahkan dan mengandung arti perintah bukanlah
ciptaan. Dengan kata lain perintah atau firman Allah bukanlah dijadikan tetapi
bersifat kekal.
.
3. Al - Maturidiyah
Aliran Maturidiyah sependapat dengan aliran Asy’ariyah bahwa sabda Tuhan
atau Al- Qur’an adalah kekal. Al-Qur’an menurut pendapat mereka adalah seifat kekal
dari Tuhan, satu tidak terbagi, tidak berbahasa Arab, tidak pula berbahasa
Syiria, tetapi diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan.
Aliran ini membedakan kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara
dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi
adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun
dari huruf dan suara adalah baru (hadist).
Al-Qur’an dalam arti kalam tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru
(hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah
bersifat dengannya tidak dapat diketahui kecuali dengan satu perantara.
4. Ahlus – Sunnah – wal – Jama’ah
Menurut aliran ini Al-Qur’an merupakan Kalamullah, Kitabullah dan wahyu-Nya. Yang dimaksud Al-Qur’an disini adalah kalam dan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Rasulullah melalui malikat Jibril.
Al-Qur’an bukan merupakan sifat kalam yang qadim (yang berdiri sendiri pada dzatnya).
Kalam adalah qadim ketika ia berbicara dengan kehendak dan
kekuasaan-Nya. Namun, ketika dikatakan bahwa Allah memanggil dan berbicara
dengan suara maka tidak berarti suara itu qadim.
Menurut kaum salaf, sifat kalam itu qadim, dan kalam Allah yang digunakan
untuk berbicara dengan makhluk-Nya, seperti Al-Qur’an, Taurat, Zabur, dan Injil
adalah bukan makhluk tetapi bukan pula qadim.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbedaan
pendapat yang terjadi antara beberapa aliran teologi Islam pada dasarnya
dipengaruhi oleh metode pendekatan mereka dalam memahami persoalan kalam. Semua
aliran-aliran tersebut pada dasarnya menjadikan akal dan wahyu sebagai sumber
dalam memperoleh pengetahuan dan keyakinan. Namun pada penerapannya, porsi yang
diberikan kepada akal dan nash (wahyu) oleh
aliran-aliran tersebut berbeda-beda, sehingga menimbulkan perbedaan dalam hasil
yang dicapainya.
Terdapat
beberapa aliran yang menempatkn akal sebagai sumber dari segala pengetahuan
dengan porsi superior. Pemikiran mereka cenderung bersifat rasionalistis
sehingga terkadang pemikiran tersebut jauh menyimpang dari nash (wahyu).
Ada pula aliran
yang terlalu menempatkan wahyu sebagai sumber dari segala-galanya dan menganggap
bahwa akal manusia tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan. Pemikiran mereka
cenderung terpahu kepada nash-nash (wahyu) dan tidak mau menerima sesuatupun
yang berasal dari rasio.
DAFTAR PUSTAKA
K.H. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah,Pustaka
Tarbiyah, Jakarta, 2006. Hal 35, 65, 82, 210.
Nok Aenul Lathifah, Kholosoh, Paham Ilmu Kalam, PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, Solo, 2013. Hal 84, 85.