Rabu, 12 Februari 2014

Kalamullah Menurut Perspektif Aliran Kalam


BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG

Ilmu kalam sebagai ilmu yang membahas permasalahan ketuhanan dengan berpegang kepada dalil-dalil naqli serta menggunakan akal/rasio sebagai media penafsirannya. Wahyu sebagai kabar dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan akal sebagai media yang ada pada diri manusia berusaha keras untuk dapat mencapai Tuhan.
Terdapat beberapa aliran di dalam ilmu kalam yang mana pola pemikiran antar aliran ini cenderung kontradiktif. Masalah utama yang timbul dari perbedaan aliran-alian teologi tersebut adalah persoalan siapa yang beriman dan siapa yang tidak.
Dalam makalah ini akan diuraikan perbandingan pemikiran antar beberapa aliran ilmu kalam tentang permasalahan; Kalamullah Menurut Perspektif Aliran Kalam.
Dari perbandingan antar aliran ini, kita dapat mengetahui, menela’ah dan membandingkan antar paham aliran satu dengan aliran yang lain. sehingga kita memahami maksud dari segala polemik yang ada.

B.     RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Kalamullah?
2. Bagaimanakah Kalamullah menurut perspektif aliran kalam ?

C.     TUJUAN
1. Mengetahui pengertian Kalamullah
2. Mengetahui definisi secara etimologi dan terminologi tentang Kalamullah
3. Memahami Kalamullah menurut perspektif aliran kalam




BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Kalamullah
Kalam Allah adalah sifat yang diperlukan dan kekal dengan kesempurnaan, dan  berkaitan dengan segala sesuau yang Dia ketahui, dan dengannya Dia mengatakan perintah, janji dan ancaman-Nya.
Kalam yang terdiri dari  suara dan huruf adalah kalam ciptaan, karena alasan ini seseorang tidak boleh mengatakan bahwa sifat kalam Allah yang kekal adalah huruf dan suara, karena Allah berkata:

Artinya: " tidak ada sesuatu yang menyerupai Dia." (Al-Sħuu’araa : 11)

Dengan demikian, ketika Ahlus-Sunnah Ash’ariyyah dan Maturidiyah mengatakan bahwa "Al-Qur'an tidak diciptakan" maksud mereka adalah mengacu pada sifat kalam Allah yang kekal  yang  bukan suara ataupun huruf. Dengan kata lain, kalimat dalam kitab Al-Qur'an itu mengacu pada pada apa yang terkandung dari apa yang Allah katakan dgn sifat kalamNya.
Menurut Imam as-Sanusi Kalam Allah Ta’ala yang bersubstansi zat-Nya ialah; suatu sifat external yang tidak berbentuk huruf, tidak berbentuk suara, tidak pernah mengalami tiada, tidak yang semakna dengan tiada seperti diam, tidak terbagi-bagi, tidak terdahulu dan tidak terkemudian.
Ada berbagai pendapat yang menjelaskan pengertian  kalam Ilahi, dibawah ini ada  beberapa pendapat penting:
1. Sebagian menganggap kalam Ilahi sebagai bentuk suara dan huruf yang mandiri dari dzat Tuhan dan sifatnya adalah eternal. Kelompok ini menganggap bahwa jilid dan mushhaf al-Qur'an sebagai salah satu individu eksternal dari kalam Tuhan yang eternal dan azali.
2. Pendapat lain mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah suara-suara dan huruf-huruf yang independen dari dzat Tuhan akan tetapi bersifat temporal.
3. Pendapat ketiga mengatakan bahwa kalam Ilahi adalah suara-suara dan huruf-huruf yang temporal dan tidak independen dari dzat Tuhan melainkan sebagai perbuatan dan makhluk-Nya. Gagasan ini dinisbahkan kepada Mu'tazilah, dan maksud dari "Tuhan berkalam" adalah terciptanya huruf-huruf dan suara-suara di alam eksternal.
4. Sebagian dari kelompok Asy'ariyah mengatakan bahwa kalam Ilahi independen dari dzat-Nya dan berbeda dengan ilmu dan iradah, dari sinilah sehingga kalam Ilahi terkadang dinamakan dengan kalam nafsi (kalam inner). Menurut mereka, kalam nafsi memiliki satu makna yaitu kalam yang lepas dari berbagai bentuk ungkapan seperti perintah, larangan, berita, panggilan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud  dengan huruf-huruf dan suara yang menunjuk pada kalam adalah sebagai hakikat eternal dan azali serta merupakan salah satu dari sifat dzat Tuhan.
Mernurut Syaikh Muhammad Tahir Al-Kurdy seorang ulama’ Hijaz, Kalamullah dibagi menjadi 2, Kalam Lafdzi dan Kalam Nafsi.

A.      Kalam Lafdzi/Kalam Hissi
Para ulama' telah membuat definisi kalam lafzdi atau kalam hissi :
1.      kalam lafzi ialah kalam yang diciptakan oleh Allah yang diletakkan di lahul mahfuz.
2.      kalam lafzi ialah kalam yang berhuruf, bersuara. Namun makna kalam lafzi ini adalah sebagian daripada makna kalam nafsi yang qadim yang ada pada dzat Allah.
B.     Kalam Nafsi
Kalam nafsi ialah dari sifat kalam Allah yang qadim .
Perbedaan antara keduanya yang mudah untuk kita fahami ialah kalam nafsi itu sifat kalam yang dengannyalah allah s.w.t mampu untuk berbicara .adapun kalam lafdzi merupakan makna daripada tugas sifat kalam Allah SWT.

B.   Kalamullah Menurut Perspektif Aliran Kalam

Diskusi tentang Kalam Allah muncul tatkala terlontar pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah. Pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah ini untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Ja’d ibn Dirham, semasa Khlaifah Umayyah Hisham (724-743 M) . Hisyam kemudian memerintahkan untuk mengeksekusi Ja’d ibn Dirham.
Namun demikian, pembicaraan tentang kemakhlukan Kalam Allah ini baru populer dan menjadi diskusi Ilmu Kalam secara lebih serius pada masa Khalifah Al-Ma’mun, setelah cukup lama Mu’tazilah lahir, baru dilontarkan kembali pemikiran tentang kemakhlukkan Kalam Allah (khususnya Al-Qur’an) ini oleh Ibn Abi Duwad masa Khalifah Al-Ma’mun (sekitar 827 M), yang menjadikan paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara.
            Dari permasalah tersebut timbul berbagai pendapat dari berbagai aliran kalam tentang makhluk atau tidaknya Kalamullah.

1.     Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah pada abad ke II dan ke III Hijriyah telah mengguncangkan umat Islam dengan keterangannya yang mengatakan bahwa Kalamullah (Al Qur’an) itu makhluk bukan sifat Allah yang qadim.
Kepercayaan Alran mu’tazilah ini merupakan kelanjutan dari pandangan bahwa Tuha tidak memiliki sifat (sebagai sesuatu yang terpisah atau substansi tersendiri disamping dhat  Tuhan) sehingga aliran ini berpendapat bahwa Kalam Allah sebagai Makhluk.
Pada umumnya kaum mu’tazilah memahami hakikat “kalam” atau perkataan, sebagai: “huruf yang tersusun dan suara yang terputus-putus yang diucapkan dengan lisan” . Sehingga mereka mengatakan perkataan bukanlah sifat akan tetapi perbuatan Tuhan oleh karena itu mesti di ciptakan dan tidak kekal.
Dengan demikian Al-Qur’an tidak bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Alasan mereka adalah Al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian berupa ayat dan surat , ayat yang satu mendahului ayat yang lain dan surat yang satu mendahului surat yang lain. Karena didahului sesuatu maka tidak bisa dikatakan qadim karena qadim adalah sesuatau yang tidak bermula dan tidak di dahului oleh apapun. Dalil Al-Qur’an yang menjadi dasar adalah firman Allah yang artinya : “Aliif  laam raa, (inilah) suatau kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Hud ; 1)
Menurut ayat tersebut, ayat-ayat Al-Qur’an dibuat sempurna dan kemudian dinagi-bagi. Jelasnya, demikian kaum mu’tazilah, Al-Qur’an sendiri mengakui bahwa Al-Qur’an tersusun dari bagian-bagian dan yang tersusun tidak bisa bersifat kekal dalam arti Qadim.

2.  Al - Asy’ariyah
Menurut kaum Asy’ari sabda adalah sifat dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Sabda bagi mereka adalah arti atau makna abstrak. Sabda bukanlah yang tersusun dari huruf dan dikeluarkan dengan suara. Sabda yang tersusun disebut sabda hanya dalam arti kiasan. Sabda yang sebenarnya adalah apa yang terletak dibalik yang tersusun itu. Sabda yang tersusun dari huruf dan kata-kata bukanlah sabda Tuhan. Sabda dalam arti abstrak inilah yang dapat bersifat kekal dan dapat menjadi sifat Tuhan. Dan yang dimaksud Al-Qur’an bukanlah apa yang tersusun dari huruf-huruf , kata-kata, dan surat-surat tetapi arti atau makna abstrak tersebut. Dalam arti inilah Al-Qur’an yang merupakan Kalamullah dan bersifat kekal. Dalam arti huruf, kata, ayat, dan surat yang tertulis atau dibaca, Al-Qur’an adalah baru serta diciptakan dan bukanlah Kalamullah.
Dalil yang menguatkan pendapat Aliran Asy’ariyah adalah firman Allah yang artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Keudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari buni, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).” (QS. Ar Rum ; 25).
       Dalam ayat ini disebut bahwa langit dan bumi terjadi dengan perintah Allah. Peritah mempunyai wujud dalam bentuk firman Allah. Dengan demikian perintah Allah adalah firman Allah. Untuk mmbuktikan bahwa perintah Allah adalah kekal.
Dalil lain yang menguatkan pendapat mereka adalah firman Allah yang artinya : “Ingatlah, menciptak dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’raf : 54).
       Dalam ayat ini perintah dan ciptaan di pisahkan dan mengandung arti perintah bukanlah ciptaan. Dengan kata lain perintah atau firman Allah bukanlah dijadikan tetapi bersifat kekal.
.
3.  Al - Maturidiyah
Aliran Maturidiyah sependapat dengan aliran Asy’ariyah bahwa sabda Tuhan atau Al- Qur’an adalah kekal. Al-Qur’an menurut pendapat mereka adalah seifat kekal dari Tuhan, satu tidak terbagi, tidak berbahasa Arab, tidak pula berbahasa Syiria, tetapi diucapkan manusia dalam ekspresi berlainan.
Aliran ini membedakan kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadist).
Al-Qur’an dalam arti kalam tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya tidak dapat diketahui kecuali dengan satu perantara.

4. Ahlus – Sunnah – wal – Jama’ah
Menurut aliran ini Al-Qur’an merupakan Kalamullah, Kitabullah dan wahyu-Nya. Yang dimaksud Al-Qur’an disini adalah kalam dan wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah melalui malikat Jibril.
Al-Qur’an bukan merupakan sifat kalam yang qadim (yang berdiri sendiri pada dzatnya). Kalam adalah qadim ketika ia berbicara dengan kehendak dan kekuasaan-Nya. Namun, ketika dikatakan bahwa Allah memanggil dan berbicara dengan suara maka tidak berarti suara itu qadim.
Menurut kaum salaf, sifat kalam itu qadim, dan kalam Allah yang digunakan untuk berbicara dengan makhluk-Nya, seperti Al-Qur’an, Taurat, Zabur, dan Injil adalah bukan makhluk tetapi bukan pula qadim.
        



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Perbedaan pendapat yang terjadi antara beberapa aliran teologi Islam pada dasarnya dipengaruhi oleh metode pendekatan mereka dalam memahami persoalan kalam. Semua aliran-aliran tersebut pada dasarnya menjadikan akal dan wahyu sebagai sumber dalam memperoleh pengetahuan dan keyakinan. Namun pada penerapannya, porsi yang diberikan kepada akal dan nash (wahyu) oleh aliran-aliran tersebut berbeda-beda, sehingga menimbulkan perbedaan dalam hasil yang dicapainya.
Terdapat beberapa aliran yang menempatkn akal sebagai sumber dari segala pengetahuan dengan porsi superior. Pemikiran mereka cenderung bersifat rasionalistis sehingga terkadang pemikiran tersebut jauh menyimpang dari nash (wahyu).
Ada pula aliran yang terlalu menempatkan wahyu sebagai sumber dari segala-galanya dan menganggap bahwa akal manusia tidak mampu untuk memperoleh pengetahuan. Pemikiran mereka cenderung terpahu kepada nash-nash (wahyu) dan tidak mau menerima sesuatupun yang berasal dari rasio.




DAFTAR PUSTAKA

K.H. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah,Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 2006. Hal 35, 65, 82, 210.

Nok Aenul Lathifah, Kholosoh, Paham Ilmu Kalam, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, 2013. Hal 84, 85.

4 komentar:

  1. Jelasin ulang dong, gagal paham.

    BalasHapus
  2. Siapakah yg berhak disebut Ahlussunnah waljamaah? jika yg berakidah asy'ariyyah bukan ahlus sunnah wal jamaah, maka sama halnya dengan kelompok yg berakidah ibnu taimiyyah, sebut saja sebagai kelompok salafy wahaby jangan pakai istilah alhlus sunnah waljamaah.

    BalasHapus
  3. Jgn pelajari ilmu kalam. Bikin pusing. Ada orang konon jadi santri belajar ilmu kalam. Pulang ke desa jadi goblok.

    BalasHapus
  4. Renungan : Tidak ada yang dapat menyelami hikmat dan kebijaksanaan Allah, semuanya ada dan terjadi hanya oleh kasih karena Allah adalah kasih (Yohanes 1:1-5/1 Yohanes 4:8/Roma 11:33).

    BalasHapus